Anya bisa terbang

Ayunan itu bergoyang sendiri, siapa yang mendudukinya, gemericit seperti burung pipit rantai penopang papan duduknya, mungkin tertiup angin.

Ditempat ini, disudut bangunan tua yang tidak berpenghuni, seorang laki-laki duduk terpaku diatas sebuah tumpukan batu, hari yang senja dengan cakrawala tersenyum kepada penghuni bumi, wajahnya menatap lurus kehamparan rerumputan yang mulai mengering dan bekas tekapan-tekapan jejak kaki.

ia terkenang memori duapuluh tahun yang lalu, ditempat ini, ia sering berlari-lari lalu melompat kedalam sebuah danau, berenang, berjemur diatas onggokan batu mengeringkan badan, memanjat pohon buah jambu air dan pohon ceri, memetik daun-daun nangka lalu merangkainya menjadi mahkota dan tali pinggang seolah aksesori alam yang melengkapi tarian-tarian setiap permainannya.


Tempat ini tak banyak berubah, hanya pohon-pohon yang membesar dan ilalang-ilalang meninggi serta rumput-rumput liar menjalar masuk kedalam area perumahan yang tak berpenghuni lagi.

Sampai saat ini masih saja tak ada yang mau membeli sepetak tanah ini, tanah peninggalan keluarganya, apa mungkin tempatnya terlalu jauh dari pusat kota atau karena kurang strategis ataupula tentang mitos cerita-cerita mistis yang melekat di daerah ini.

Sebulan setelah ia dan keluarganya pindah kekota lain, rumah tersebut di kontrakkan kepada sebuah keluarga pejabat, tak sampai seminggu menempati, keluarga itu sudah mengangkuti barang-barangnya kembali dan mencari rumah lain, diceritakan kepada ayahnya bahwa sejak hari pertama menempati rumah itu seluruh anggota keluarganya selalu dihantui oleh hal-hal yang misteri, siang dan malam. Siapa tahan. Dan begitu seterusnya dengan kejadian yang sama kepada setiap orang yang menempati rumah itu.
entah disebabkan oleh cerita-cerita mistis tersebut mungkin tak ada orang yang berani membeli tanah keluarganya ini.

Anya adalah teman masa kecilnya, gadis kecil berambut keriting dengan tatapan mata yang selalu bersinar, anya tinggal disebelah rumahnya, orang tua anya adalah petani sayuran yang membuka ladang tak jauh dari tempat tinggalnya, anya selalu ingin bisa terbang, anya percaya dia pasti akan bisa terbang, seperti burung elang itu, kata anya suatu hari ketika mereka sedang bermain di danau.

Pada suatu sore setelah pulang dari mengaji ia dan anya kembali lagi ke danau, “diujung danau disana ada air terjun”, kata anya. mereka berdua tak pernah berani main sampai ke air terjun, kata orang tuanya disana ada monster yang suka memangsa anak kecil.

                                                                  ****

“Ada yang mau membeli tanah kita, kamu urus ya”, kata ibu di telepon. Aku lupa, ini orang yang keberapa yang hendak membeli tanah kami, sebelum-sebelumnya pasti berakhir dengan ke tidak-sepakatan dan berujung ke tidak-jadian.

Aku dan keluargaku hijrah kepulau jawa karena ayah di pindah tugaskan ke jogja, waktu itu umurku tujuh tahun, ayah hanya seorang pegawai golongan bawah salah satu instansi pemerintah. Meninggalkan kota kelahiranku di umur tujuh tahun tidak terlalu berat bagiku, walau banyak memori-memori yang harus kutinggalkan, dan sekarang aku kembali lagi ke kota ini hanya untuk mengurus sepetak tanah dan rumah tua?.

Biasanya mbak laras, kakak sulungku yang selalu mengunjungi rumah tua kami ini karena setelah menikah ia ikut bersama suaminya di batam, tak jauh dari bintan.

biar aku saja yang menempati rumah itu bu, sudahlah, jangan dijual” aku menjelaskan kepada ibu di perbincangan singkat telepon kami, aku berencana akan bekerja di bintan saja, di jakarta segalanya sudah terlalu memuakan, dan aku juga sudah rindu dengan kampung kelahiranku.

                                                           ***

Hari belum gelap ketika aku sampai di bintan, aku langsung menuju kerumah lamaku yang letaknya sekitar tiga puluh kilometer dari pusat kota, sepanjang perjalanan dalam angkutan kota aku melihat sudah banyak sekali perubahan kota ini, aku sudah lupa, aku sudah tak tahu lagi, aku sudah tak mengerti lagi dan yang pasti aku memang tak pernah mengetahui seluk beluk kota kelahiranku ini di karenakan masih sangat kecil ketika aku meninggalkannya.

Entah mengapa kakiku bergetar saat melangkah memasuki pekarangan rumahku yang dulu, ada perasaan yang sangat tidak menyenangkan merasuk ke dalam jiwa ini. Rumah tuaku, rumah lama tempat aku dan keluarga menghabiskan malam-malam bersama.

Hari telah senja, aku duduk dionggokan sebuah batu menghadap ke danau, pikiranku mengambang, melayang kembali kemasa lalu, geguguran daun-daun kering membawaku mengenang seorang gadis kecil teman bermainku. Anya. aku teringat anya, gadis berambut keriting dengan mata yang bersinar, anya yang ingin bisa terbang.

“awan, lihat elang itu, pasti dia bahagia bisa terbang” kata anya suatu sore saat kami bermain di danau bersama.

“awan, mau kemana kamu, tunggu..!!!”. anya berlari kearahku, mengikutiku dari belakang, aku tertawa sambil terus berlari ke tepian danau, aku merentangkan tangan, seolah terbang.

“terbaaaaaaaang......” aku berteriak sambil berlari dengan tangan merentang membentuk sayap burung, anya di belakangku, merentangkan tangannya. Sore itu kami terbang bersama mengitari tepian danau sambil tertawa.

Aku tahu, sebagai manusia kita tak akan bisa terbang, aku sudah menjelaskannya pada anya, tapi dia tetap pada pendapatnya bahwa suatu hari nanti dia akan bisa terbang seperti burung, menggenggam angin, bermandi cahaya mentari di atas awan, berkejar-kejaran dengan elang-elang.

Suatu hari aku pernah marah dengan anya, aku tak menemaninya terbang pada suatu sore, aku bosan, ibu memanggilku dan bercerita bahwa setiap orang punya mimpi dan imajinasinya masing-masing. Tapi hari itu aku memang benar-benar bosan. Ibu menyuruhku menyusul anya kedanau bahkan memaksaku. Sepertinya ada yang ibu khawatirkan.

Aku melihat anya duduk di atas batu, dia sedang menatap seekor kumbang madu yang terbang mengitari pohon kembang sepatu. Aku mendekatinya. Sepertinya dia mengetahui kehadiranku.

awan, sebentar lagi aku akan terbang”. Matanya tetap memandangi kumbang.

“ayo pulang, sudah maghrib”. Aku mengambil tangannya, menggandengnya.

waktu adalah genggaman semu yang mempermainkan kita pada suatu tebak-tebakan.

ibu membangunkanku pagi hari, tak seperti hari-hari sebelumnya, biasanya ayah atau ibu membangunkanku pada saat subuh untuk sholat berjamaah bersama, aku merasa heran, dan ketika aku melintasi ruang makan saat hendak kekamar mandi, aku melihat anya dipangkuan ayah, dia tertidur. Aku menghampiri ayah. Aku ingin bertanya tetapi seperti ada yang mengganjal ditenggorokanku, perasaanku mulai tak menentu. Mbak laras, kakak sulungku, menarik tanganku dan membawaku keruang tengah, disana ibu sedang menahan tangisnya, matanya berkaca-kaca. Aku memeluk ibu. Sambil mengusap rambutku ibu pelan-pelan bercerita : tadi malam, sekitar jam dua dini hari, rumah keluarga anya dirampok, sekawanan perampok yang berjumlah empat orang, mereka menyikat habis harta benda keluarga anya, tidak hanya itu, ayah anya dan ibunya serta dua kakak anya dibunuh oleh para perampok dan mereka membakar rumah anya. Sedangkan anya dan risma, kakak sulung anya berhasil melarikan diri saat kejadian. Penduduk menyadari saat melihat api mulai membesar membakar rumah keluarga malang itu, beramai-ramai para penduduk bahu membahu mencoba memadamkan si jago merah yang sedang melahap sisa-sisa rumah keluarga anya. Setelah api berhasil dipadamkan ditemukan empat jenazah yang sudah hangus terbakar, jenazah ayah dan ibu anya serta kedua kakakanya.

Menjelang subuh, Anya ditemukan di pinggir danau dalam keadaan tak sadarkan diri, sedangkan risma, dia menyelamatkan diri kerumah kepala desa.
Tak terasa air mataku mengalir, aku merasakan kepedihan yang sangat mendalam, aku berharap ini hanya mimpi. Anya?, anya sudah yatim-piatu sekarang, aku tak bisa membayangkan bagaiman perihnya perasaan anya dan mbak risma saat ini. Aku menangis dipelukan ibu. Pagi itu menjadi hari yang sangat suram, aku menghampiri anya yang masih tertidur dipangkuan ayah. Anya, aku akan membawamu terbang.

                                                              ***

Setelah kematian keluarganya, anya tinggal bersama keluargaku, sedangkan mbak risma setelah seminggu tinggal bersama kami dia memilih untuk pergi mencari pekerjaan melalui jasa sebuah perusahaan yang menyalurkan tenaga kerja keluar negeri.
Dan sepertinya penderitaan anya masih belum berakhir sampai disitu, sebulan setelah kepergian mbak risma, kami sekeluarga dikejutkan dengan berita tenggelamnya sebuah kapal penumpang yang beropersi melintasi jalur Batam – Malaysia dan mbak risma adalah salah satu penumpang kapal itu, seluruh penumpang dikabarkan tewas tenggelam dan jenazah korban banyak yang hilang dan tak ditemukan.
Oh tuhan cobaan apalagi yang kau berikan kepada anya, baru saja dia mulai bisa tersenyum dan kini satu-satunya keluarga sedarahnya, mbak risma, menyusul ayah, ibu dan kedua kakaknya kembali kehadapanmu.

setiap manusia punya mimpi, setiap manusia punya imaji, setiap manusia punya takdir yang tak bisa dihindari.

Anya sebatang kara, anya kehilangan senyuman, anya kehilangan mimpi, anya kehilangan imaji, anya pasrah pada takdir. Aku merasakan perubahan yang sangat besar pada anya, anya tak mau kuajak terbang lagi di pinggiran danau. Anya murung.

“awan, anya pengen terbang yang beneran”. kata anya ketika aku mengajaknya bermain terbang-terbangan di pinggiran danau seperti yang sering kami lakukan dulu.

Setiap hari aku selalu berusaha membuat anya bahagia, aku menginginkan anya yang dahulu, anya yang matanya bersinar, anya yang ingin terbang seperti burung elang, imaji-imaji anya tentang angin yang menerpa wajahnya bila sedang terbang kini hilang, senyumnya yang ceria kini padam.

Anya ingin terbang beneran...

Tak ada yang menyangka ketika keesokan paginya anya terbang, ya, anya bisa terbang, benar-benar terbang, dia mengelilingi jagat raya, melintasi angkasa, melewati awan-awan putih, menikmati angin yang mengibaskan rambutnya dengan matanya yang terpejam. Kami menemukan anya tergantung di tiang ayunan dengan tali melilit dilehernya. Anya melawan takdir.

Aku tersadar dari ingatan masa lalu yang kelam, hari mulai gelap, tangan malam siap merengkuh langit menjadi kelam.

Ayunan itu bergoyang sendiri, siapa yang mendudukinya, gemericit seperti burung pipit rantai penopang papan duduknya....

“Anya...”


                                                                  ****

@abee_dee

Comments

KiosApp said…
its cool,, ga sadar saya terbawa cerita anya gan,,, seolah saya memang mengenal anya.. :(