Posts

Showing posts from January, 2011

KITA

Sebenarnya ini bukan hanya sekedar kesederhanaan mengucap kata ' kita '. Sebab, aku tahu bahwa 'kita' bukanlah sebuah tujuan yang paling utama untuk kita. ' kita ' yang kita rasakan ternyata hanya seumuran kepompong yang pada akhirnya menjadi kupu dan terbang menantang bencana. tapi yang membuat ' kita ' yang dulu sama-sama mengucap kata kita ternyata hanya selentingan dari getir kepedihan yang tergigit. untuk kita. ' kita ' yang kita ucapkan pada air mata, kesenangan dan kepedihan. ternyata mendapat giliran bahwasanya kita bukan apa-apa.

Time and Time again.

Sebenarnya waktu yang kita bayangkan membentuk aksara-aksara, angka-angka atau rentetan peristiwa-peristiwa?. Kita sama-sama sedang melewati waktu. siapa yang sedang berjalan dibelakang kita dan siapa yang sedang bersama di samping kita dan juga siapa yang sudah mendahului kita. Ketika sedang ingin menggambarkannya. waktu seperti batu-batu sungai yang hitam. seperti gelap malam dengan kunang-kunang. seperti jejak-jejak tapak kaki. seperti rangkaian aksara-aksara. seperti deretan angka-angka. seperti asap yang mengepul dan hilang terserap udara. Seperti api. seperti air. seperti seperti udara. seperti angin. seperti cinta. seperti benci. Seperti laki-laki atau seperti perempuan? Kita terlempar di ruang yang tak terbatas. kita menyatu di udara yang bebas. kita mengalur pada cerita-cerita yang tak pernah lepas dan selalu kandas oleh bayang-bayang waktu yang membekas. Dan pada akhirnya. dia juga akan berhenti. menetap pada sebuah tetapan. Membentuk aksara dan angka-angka. membentuk i

Aku akan tinggal.

Disini, Aku akan tinggal. Seperti debu yang mengekal di sudut-sudut punggung dinding yang terpiting sekat tebal. Seperti pasir yang mengaspal jalan-jalan terjal, menahan landai dengan kepal, yang kuyakin pasti kekal. Disini. Aku akan tinggal. Seperti lumut di bawah rumput yang merajut pondasi gempal, menahan embun segar hingga terbias oleh sinar. Di mimpi-mimpimu yang tak selesai, membisik di antara sadar, hingga bingar sekalipun tak kau dengar. Disini, Aku akan tinggal. Pada senja yang mengakar di pagar-pagar langit mekar, tanpa sedikitpun getir tergigit di hatimu yang khawatir. Aku akan tinggal. Disini, Di Kota ini. Sampai hariku selesai. Dengan harapan doa-doamu yang terhantar. @abee_dee

Aku ingin pergi seperti

Aku ingin pergi seperti : Daun yang tertiup angin di serakkan tanah kering. Aku ingin pergi seperti : Pasir yang melandai tergerus air pantai. Aku ingin pergi seperti : Embun yang menguap hilang terenggut cahaya terang. Aku ingin pergi seperti : Mimpi yang tak selesai di bawah wajah pagi. Aku ingin pergi seperti :   Pagi yang meninggalkan segelintir getir tanpa rasa khawatir. Aku ingin pergi seperti : Engkau yang sesuka hati. @abee_dee

Sekarang seperti

Sekarang, aku tak ingin mereka berkata, Sunyi masih terkandung seperti biasa, Dan kecupan malam, tak melagukan nama. Sampai pasti, sampai menjamur ragi-ragi fermentasi. Hingga mendidih, merintih silih tak berganti. Apakah perih? Semenjak kata-katamu mati, Seperti menanggung kutuk, hanya bernafas dalam hening, dalam rembulan yang kau pandang sendiri. @abee_dee

Anya bisa terbang

Image
Ayunan itu bergoyang sendiri, siapa yang mendudukinya, gemericit seperti burung pipit rantai penopang papan duduknya, mungkin tertiup angin. Ditempat ini, disudut bangunan tua yang tidak berpenghuni, seorang laki-laki duduk terpaku diatas sebuah tumpukan batu, hari yang senja dengan cakrawala tersenyum kepada penghuni bumi, wajahnya menatap lurus kehamparan rerumputan yang mulai mengering dan bekas tekapan-tekapan jejak kaki. ia terkenang memori duapuluh tahun yang lalu, ditempat ini, ia sering berlari-lari lalu melompat kedalam sebuah danau, berenang, berjemur diatas onggokan batu mengeringkan badan, memanjat pohon buah jambu air dan pohon ceri, memetik daun-daun nangka lalu merangkainya menjadi mahkota dan tali pinggang seolah aksesori alam yang melengkapi tarian-tarian setiap permainannya.

ELEGI SANG MALAM

Aku duduk dimalam melingkari waktu dan cahaya, Menjabat lirih semilir angin yang menggoyangkan daun, Temaram sinar terasa asing karena gemeretak dahan pelam yang hampir patah, Suatu sentuhan malam dengan rindu yang mendungu, Disini bergumpal selimut malam, Embun yang membisu dan beribu-ribu sejuk yang memeluk, Dingin tak hanya angin, sunyi, tanpa ada bunyi. Aku meragukannya, kadang-kadang, ia juga meragukan aku. Sebuah cerita klasik yang menarik, pantas dijadikan sebuah lirik. Lantunkanlah dengan suara mendayu, Semerdu mungkin, selirih mungkin. Dan disini, sedini mungkin biar aku yang tulis satu larik, Rindu yang mendungu, rindu yang memburu. Melintaslah : walau aku ragu, walau engkau ragu. Biar menguak semua, satu kepalsuan metafora yang fardu. @abee_dee

Aku ingin jadi keheningan untukmu (sajak pablo neruda)

Aku ingin jadi keheningan untukmu: seakan kau tak ada, dan kau dengar aku dari jauh, tapi suaraku tak menyentuhmu. Seperti matamu yang mengalur hingga jauh seperti ada sebuah kecupan yang mengunci mulutmu. Seperti segalanya terpenuhi dengan jiwaku Kau menjelma dari segalanya, memenuhi jiwaku. Engkau seperti jiwaku, kupu-kupu mimpi, dan engkau seperti kata Melakoli. Aku ingin jadi keheningan untukmu: dan kau berjauh jarak. Suara itu seperti engkau meratap, seperti merpati suara kupu-kupu. Kau mendengarku dari jauh, suaraku tak mencapaimu: Biarkan aku datang padamu menjadi hening dalam sunyimu. Dan biarkan aku bicara denganmu, dengan kesunyianmu terang seperti lampu, seadanya bagai seutas cincin. Engkau seperti malam, menyimpan keheningan dan konstelasi. Sunyimu adalah bintang, memencil jauh dan bersembunyi. Aku ingin jadi keheningan untukmu: seakan kau tak ada, jauh jarak itu penuh nestapa itu seakan kau telah mati. Lalu hanya satu kata, satu senyuman, cukup sudah.

Agar kelak kau simak aku (sajak pablo neruda)

Agar kelak kau simak aku kata-kataku kadang tumbuh menerawang seperti jejak-jejak camar di sepanjang pantai. Kalung, lonceng kerasukan untuk tanganmu halus, selembut buah anggur. Dan kusaksikan kata-kataku Kata-kata yang lebih punyamu daripada milikku. Kata-kata yang memanjati nestapa lama bagai liana. Ia juga merambati dinding-dinding kabut. Kau menanggung kutuk untuk pertarungan kejam ini. Kata-kata melarikan diri dari jerumun gelapku. Kau mengisi segalanya, kau mengisi semuanya. Sebelum engkau, mereka menghuni kesunyian yang kau tinggali, mereka lebih berguna bagi dukaku daripada kau. Sekarang aku ingin mereka berkata apa yang ingin kukatakan padamu, membuat kau mendengar apa yang kuinginkan kau mendengarnya. Angin penderitaan masih terkandung seperti biasa. Sesekali mimpi puting beliung mengetuk juga. Kau dengar, suara lain di dalam suara nestapaku. Keluh mulut yang dahulu, darah permohonan dahulu jua. Cintai aku, kawan. Jangan abaikan. Ikuti aku. Ikuti

Aku mengenangmu seperti (sajak pablo neruda)

Kukenang kau sebagai kau di musim gugur terakhir. Dengan baret hijau dan senyap di hati kesunyian. Di matamu lidah api senja hari bertarung berkobar. Dan dedaunan berguguran ke muka kedung jiwamu. Lenganku berangkulan seperti tanaman merambat. Dalam teduh, dedaunan merangkum suaramu, perlahan. Pukau unggun api membakar rasa hausku. Anggun bakung biru, terpintal terjalin di jiwaku. Seperti matamu mengembara, musim gugur jauh di sana: baret kelabu, suara burung, hati seperti rumah mendekat menjadi arah, kemana rindu yang parah berpindah dan kecupan-kecupanku rubuh, bahagia bagai baraapi. Langit dari sebuah kapal. Padang dari perbukitan: Kenanganmu tercipta dari cahaya, kabut, dan kolam diam! Melampaui matamu, menjauh lagi, malam-malam terbakar. Dedaunan kering musim gugur menghambur di jiwamu. I Remember You As You Were  I remember you as you were in the last autumn.  You were the grey beret and the still heart.  In your eyes the flames of the twilight fought on

Jiwa yang tercekau (sajak pablo neruda)

Bahkan kita pun tersesat di senja kala ini. Tak ada yang melihat kita berpegang tangan malam ini malam yang meluruhkan birunya ke dunia. Aku melihat dari jendela yang terbuka matahari berpesta, tenggelam di kejauhan puncak gunung. Sesekali tampak sepotong matahari terbakar seperti keping uang di antar dua tanganku. Aku terkenang engkau, hati tercekau dalam duka itu, dukaku itu, engkau tahu. Lalu engkau, dimanakah? Lalu di sana itu, siapakah? Lalu yang disebutnya, apakah? Kenapa saat segenap cinta tiba tiba-tiba saat itu duka meraja dan kurasa engkau jauh disana? Buku tersia senantiasa tak terbuka saat senja tiba dan sweater biruku teronggok: simpuh anjing luka. Selalu, selalu saja engkau menyusut melintasi malam melewati senja, gelap yang menelan patung-patung. The Clenched Soul   We have lost event this twilight.  No one saw us this evening hand in hand  while the blue night dropped on the world.  I have seen from my window  the fiesta of sunset int

inilah aku yang mencintaimu (sajak pablo neruda)

Inilah aku yang mencintaimu. Pada pinus hitam angin mengurai kekusutan. Bulan berpendar seperti fosfor di air tak berhulu-muara. Hari demi hari, sama saja, saling memburu-mengejar. Salju tak tergulung dari sosok-sosok berdansa. Camar berbulu perak tergelincir terbang dari barat. Sesekali tampak sebuah layar. Tinggi, bintang yang jauh. O ada silang hitam sebuah kapal. Bersendiri. Sesekali aku terbangun dini hari, dan jiwaku basah. Di kejauhan laut bergemuruh disahut gemuruh. Inilah pelabuhan itu. Inilah aku yang mencintaimu. Inilah aku, ketika cakrawala sia-sia menyembunyikanmu Aku mencintaimu walau segala membeku mengepung. Sesekali kecupanku berlayar bersama kapal besar menyeberangi laut menuju yang tak tersampai. Aku merasa dicampakkan bagai jangkar tua. Pelabuhan makin murung ketika petang tertambat di sana. Hidupku jatuh kian letih, lapar tanpa ada sebabnya. Aku mencintai apa yang tak bisa kupunyai. Engkau begitu jauh. Kebencianku tak terebut oleh senja ya

sampai akhirnya : engkau bisa membaca.

Aku harus menjadi sebuah huruf, vokal yang hidup, yang menyusup diantara huruf konsonan-konsonan matimu, sampai menjadi arti suatu kata. entah itu apa. Aku harus menjadi sebuah kata, seucap yang mengandung makna, yang mengantarai kalimat-kalimat matimu, sampai menjadi suatu bait cerita, entah itu apa. Aku harus menjadi sebuah kalimat, barisan yang nikmat, yang mengalamatkan semangat pada paragraf-paragraf matimu, sampai menjadi suatu alur semangat. ya, cerita-cerita apa saja. sampai akhirnya : engkau bisa membaca. @abee_dee

Hujan malam

Dan hujan adalah tempat aku kembali dari kenangan kecil,  dari wajah angin, dari serpihan rasa takut,  mungkin pernah sempat mengecap derita. sebab, hujan tak hanya menyisakan kabut, tapi juga kalut . @abee_dee

Warnaku ambil sendiri

Tubuhku berwarna hitam pekat, kini, diantara sepertiga malam. Tatapku berwarna jingga mulia, tadi, sebuah imigrasi perasaan sesaat. sekelabat bayang, menari diantara hembusan angin, dari kisi-kisi jendela itu. aku telah menggaris bawahi yang terjadi hari ini. Aku yang berkamar dalam serakan kata-kata, tak mampu merubah warna, mendebat hebat dalam satu tarikan panjang sang malam, apalah arti suatu sisipan kata dalam petak satu lencana. ambil warna-warna yang kulihat hari ini, CUKUP . @abee_dee

Request to

Waktu telah malam, diantara memori-memori indah kita, berterbangan bersama angin, menyentuh daun, menyentuh dahan-dahan rapuh, aku bangkit tiba-tiba, dari rasa yang campur baur, beranjak, udara membungkusku dalam kesiap sunyi. dicela-cela sempit waktu yang membatu, aku menemukan khayalnya, yang telah lama luput sebagai imajinasinya. aku mencintai dia yang lama, yang mengolah kata per kata, dengan parau suara senja, disisi kedalaman bumi atau langit tinggi. maka, kembalikan khayalnya padaku, walau hanya tinggal segumpal debu, karena jiwaku telah kehilangan dia. @larungz

Kita, Adenium dan Peri mimpi

Malam seperti hijaunya sepi dibarisan pepohonan itu, kita, demikian sudah sangat berubah. kerena telah bermalam-malam, dan bukan hanya pada malam ini saja, aku mengikat sendu jiwa kita, dengan baris yang tegas. Sunyi kenangan menjadi seperti nyanyian burung-burung malam. Syahdu. memupuk keasaan pada linear malam, sekejap, agar cepat terlelap, mungkin nanti bermimpi tentang peri yang membaca sajak. dan pada malam ini, dari satu malam ke malam yang lain, ku hampiri adenium, baru saja ia tersenyum, ia tau, aku memesan embun untuk wajah pagi. esok aku kembali mencumbu daunnya sebelum direnggut sang mentari. Ketika akhirnya kita tutup sebuah malam, peri mimpi membuka hidup, mengibaskan selendang, mempercantik diri dan bersiap masuk pada jiwa-jiwa yang mengantuk. siap mengajak lelap dengan berbait-bait sajak. Peri mimpi, biarkan aku melangkah mendekatimu, aku bukan hendak mengganggumu, aku hanya ingin selendang mimpi itu membalut pada leher tidurku. @abee_dee

Anting-anting itu memang harus sepasang

Adik, sebelah antingmu patah, aku yang menemukan patahan itu, sepertinya waktu itu malam. malam yang dalam linear kelam. tak kusangka ke tak seimbanganmu membuncah pada maya, aku terlena pada mata, senyum disenja yang beda. adik, apakah antingmu benar patah, aku yang melihat ia berkilau terbias cahaya lampu, pada bangku yang setia menunggu terisi oleh para pengungsi-pengungsi hati. aku sudah mengira kita sama, jauh sebelum kita bicara-bicara, seperti aku tau harmonisasi tentang nada lagu. adik, antingmu tak pernah patah, aku tak menemukan patahan itu, mungkin ia hanya terlepas, sangkut di helai-helai rambutmu. kibaskan saja, hanya kau yang bisa. Anting-anting itu, mereka memang harus sepasang, adik. @abee_dee

Bersandar pada senja (sajak pablo neruda)

Sewaktu bersandar pada senja, kutebarkan jala dukaku ke lautan matamu. Di sana, kesepianku membesar dan membakar dalam marak api maha tinggi tangannya menggapai bagai orang lemas. Kukirim isyarat merah ke arah matamu yang hampa yang menampar lembut seperti laut di pantai rumah api. Sewaktu bersandar pada senja, kucampakkan jala dukaku ke laut yang mengocak lautan matamu. Burung-burung malam mematuk pada bintang-bintang pertama yang mengerdip seperti kalbuku ketika menyintaimu. Malam menunggang kuda bayangan sambil menyelerakkan tangkai-tangkai gandum biru di padang-padang. ~ Pablo neruda ~ Pablo Neruda (1904-1973), penyair Chile pemenang Hadiah Nobel 1971 Diterjemahkan oleh Wan A. Rafar dari terjemahan Inggeris oleh Mark Eisner

Diam-diam aku menyelinap disajakmu.

Betapa rindu aku dengan tatap itu, (matamu) yang menghindar, senyap dalam gelap, ahhh, betapa ingin aku menulis sajak tentang matamu (lagi), dimana aku masuk (pada bagian teduh disana) dan merebut ombak (ketika kau sedang memejam). (lalu) aku ambil dagu itu (dengan ragu-ragu), taukah kau, ada getar yang tak sabar (di dadaku), seperti sedang menunggu kabar. diam-diam aku menyelinap disajakmu, (mencari) apakah kau menulis (lagi) tentang aku. (mungkin) tidak untuk saat ini atau sudah (tamat) semua episode (kita) sadarkah kita? saat sama-sama bersandar pada (satu) bangku (yang kini telang kosong) itu.