Dua Warna (Flash Fiction)



Malam dengan semburat cahaya lilin. Lampu padam, gelap tertangkap pada pandangan dan kenangan terseret di belakang mengikuti seperti pada gambar kupu-kupu berbandul batu koral yang terikat di kedua sayap kelabunya yang ia lihat di sebuah gambar hasil jepretan seorang teman fotographer, kemudian angin membawa hawa dingin mengambangkan pikiran mengenang kenangan. Saat ini, saat lampu padam tanpa alasan dari perusahaan.

“Sendirian tak akan membuat apapun menjadi nyaman..” Ibra berucap pelan, gelap hanya cahaya lilin yang tinggal menunggu waktu untuk habis padam dimakan api.

Sebenarnya bukan soal kesendirian yang ia permasalahkan, sontak ia terperanjat ketika seorang perempuan yang menyapanya di sebuah mall tadi siang. Buku yang ia pegang reflek berbaur dengan lantai keramik berukuran sama tiap petaknya diiringi satu-satu bunyi degup jantungnya saat itu. Terperanjat. Sesaat terdiam mengingat, melupakan, mengingat, melupakan dan... Harus diingat.

“Terlau singkatkah waktu, atau jalan kita kali ini di tujukan pada satu tempat yang sama...” Suara yang masih riang, centil namun berkarakter. Sepertinya bukan suara itu yang membuatnya terkejut, tapi sosoknya yang mulai menggali cerita benci dan rindu di matanya yang hitam putih.

“Hey..apa kabar?” Gugup merasukinya, ia menunduk mengambil buku yang sedari tadi jatuh tanpa disengaja.

“Baik dan semakin membaik walau pada akhirnya setiap warna akan menjadi sama..” ucapannya seperti megembalikan puing-puing yang telah berserakan entah kemana selama ini.
Bukan sesuatu yang dinanti sebenarnya pertemuan siang tadi, kenaifan yang belum menjumpai kearifan dari pemikiran menikmati kebersamaan. Celoteh yang tak berubah dan akhirnya kembali di satu meja yang sama memesan kopi kebanggan masing-masing.

“Sendirian tak akan membuat apapun menjadi nyaman..” Deviana memulai pembicaraan sesaat hening dalam pandangan masing-masing.

“Sepertinya begitu, bukan masalah bila tak dipermasalahkan, selagi warna yang ku lihat masih sama, dengan atau tanpa kesendirian akan menjadi satu paket denganku..” Ibra memberikan jawaban. Sempurnakah kehidupan bila kesendirian telah terlewati? Seperti Deviana yang kini ada di hadapannya, kerangka hidup yang dirumuskan setiap manusia bukan seperti membuat plot cerita pendek atau novel dengan ending yang bisa diakhiri sang penulis sesuka hati, siapa yang tak ingin melihat warna yang beragam seperti hijau, biru, merah, jingga dan warna-warna lain yang cerah. Tuhan memberikan pandangan kepadanya hanya dengan bisa melihat dua warna saja. Hitam dan abu-abu. Perpisahan menjadi pilihan oleh Deviana untuk meninggalkannya, ia tak ingin memiliki kekasih yang buta warna.


kijang juni 2011



***

.

Photo By :  Hengki Lee 

Tertarik dengan Iklan di bawah ini? Silahkan klik Gambar untuk info lebih lanjut.
Flash Fiction: 72 Very Short StoriesFlash Fiction Forward: 80 Very Short StoriesThe Rose Metal Press Field Guide to Writing Flash Fiction: Tips from Editors, Teachers, and Writers in the Field

Comments

Nevalda said…
mereka adalah warna-warna yang pernah aku kenal, warna-warna yang menghiasi kehidupan ku,,
Dengan corak yg berbeda kami saling berbagi....
Meskipun kadang ada beberapa warna selalu mendominasi...
Tp inilah hidup...

Nice artkel gan.....
Denny Hermawan said…
warna-warni gan. hehe..
Thanks sudah mampir...