Suara Dari Langit


Di atas langit. Ada apa disana? Kata ibuku ada Tuhan dan para Malaikat, juga banyak Bidadari-bidadari yang sedang menari. Perihal Bidadari ini ibu sering bercerita, bila pagi dan sore hari para bidadari itu turun ke bumi untuk membersihkan selendang-selendangnya di sebuah sungai yang ada dibalik gunung itu. Di tempat tinggalku tak ada gunung, hanya perbukitan yang ditumbuhi pohon-pohon hutan menghijau sepanjang barisan cakrawala. Tetapi ibuku selalu menunjuk arah perbukitan hijau yang memang bergunung-gunung tersebut bila aku bertanya tentang langit.

Lain cerita ibu, lain pula cerita ayah. Ayah mengatakan bahwa di langit sana ada sebuah kerajaan yang hanya di tinggali makhluk-makhluk suci, setiap hari penghuni langit memberikan makanan kepada penghuni bumi, mereka tak bisa terlihat dengan mata kepala biasa, jika ingin melihatnya, berdoalah setiap hari dengan tulus, memohon kepada sang pencipta, selalu berbuat baik agar kelak bisa bergabung dengan mereka di sana.


Itu adalah pertanyaan ketika aku masih kecil. Ibu dan Ayah selalu mempunyai jawaban yang berbeda-beda. Tapi aku percaya kedua jawaban itu. Aku memang selalu menengadah ke langit ketika bangun pagi. Entah sebab apa, tetapi yang aku ingat adalah setiap membuka mata di pagi hari, aku seperti mendengar suara yang memanggilku dari atas langit, suara itu merdu, lembut seperti suara sinden yang sering ku dengarkan bila menemani ayah menonton acara wayang orang di televisi.


“Kelak kita semua akan berada di langit, disana segala apapun yang kita butuhkan akan tersedia dengan sendirinya, tetapi dengan satu syarat.” Kata ayah suatu sore di beranda rumah.

“Syarat apa ayah?” Tanyaku.


“Syaratnya, kamu harus berdoa dan berbuat baik setiap hari.” Jawab Ayah.


“Gampang ayah, itu hal yang sangat mudah..” Sahutku sambil terus menengadah ke langit sore itu.


Ayah tertawa melihatku, ia mengacak rambutku, memang waktu itu aku masih mengira bahwa berbuat baik adalah hal yang sangat mudah, hanya tak menyakiti hati seseorang, tak pernah berbohong dan memberi makanan kepada makhluk yang kelaparan, itu merupakan perbuatan baik. Dan berdoa, ya, itu pasti kulakukan setiap hari, pertama-tama dengan mendoakan diri sendiri lalu mendoakan orang tua dan keluarga serta mendoakan orang-orang yang sedang di timpa kemalangan.


“Di sebalik gunung itu mereka mencuci selendang-selendangnya, para bidadari itu, mereka cantik-cantik, nanti bila kau sudah besar, dapatkanlah seorang pendamping yang cantik seperti para bidadari langit, para bidadari itu adalah pelayan langit yang di sucikan oleh Tuhan.” Kata ibu suatu pagi sambil mencium keningku.


“Ibu, apakah ibu bidadari?” Aku bertanya.


“Ibu adalah bidadari ayahmu..” Jawab ibu sambil mencuim keningku.


Ayah dan ibuku selalu menceritakan kisah-kisah langit kepadaku, setiap hari kala aku keluar halaman rumah dan menengadah ke langit. Terkadang aku melihat langit berwarna hitam, kuning, merah, biru bahkan hijau. Tapi aku sering melihat warna langit hitam. Selalu, setiap hari. Ibu menceritakan kalau langit sedang berwarna hitam ialah saat para bidadari sedang tidur, yang aku yakini itu adalah malam hari, dan ayah mengatakan bila langit berwarna hitam, disana sedang ada makhluk langit yang di hukum oleh Tuhan.

Cerita-cerita tentang langit yang disampaikan ayah dan ibu waktu itu mungkin hanya sekedar jawaban untuk imajinasiku saja yang tak bisa melihat apa-apa.

Ibu mengatakan kepadaku bahwa aku tuna netra atau buta. Memang, apa yang ku lihat semuanya hitam. Itu ia katakan ketika aku masih berumur lima tahun, aku sering terjerembab, aku sering keluar halaman rumah dan menengadah ke atas langit, saat itulah ibu dan ayah selalu bercerita tentang langit.


“Ibaz dengar ada yang panggil-panggil Ibaz di atas sana..” Kataku suatu hari pada ibu. Sepertinya aku melihat dengan cara lain ketika ibu menitikkan air mata. Aku bisa merasakan dada ibu yang bergetar. Perasaanku seperti mengatakan sesuatu dan aku mengetahui bila ibu mencemaskanku. Aku tahu ibu sedih dengan keadaanku.


Saat umur tujuh tahun aku mulai belajar membaca dengan meraba di sekolahku. Aku menemukan persamaan dengan mereka yang berbicara dan bergaul denganku di sana. Ketika berkenalan dengan Ani, teman sekolahku, aku langsung merasakan bahwa ia begitu cantik, dengan senyuman lembut, rambut yang tergerai sepunggung dan binar mata yang bening walau aku tahu ia sama denganku, buta. Ani anak yang baik dan juga sangat pintar, berbicara banyak dengannya membuatku merasa nyaman. Ani seperti bayangan imajinasiku tentang bidadari langit yang diceritakan ibu. Dengannya aku bermain dan menengadahkan kepala ke langit setiap jam istirahat sekolah.


Aku sadar aku berbeda. Tak sama seperti mereka. Seperti para sepupuku dan teman-teman bermain di rumah. Ketika mereka berbicara warna-warna favorit, seperti baju-baju, mainan, sepatu dan barang-barang lain, aku hanya bisa merasakan saja dengan imajinasiku sendiri. Lain hal dengan langit. Aku merasa aku bisa melihatnya dengan warna-warnanya yang berbeda.


Suara-suara apa yang aku dengar dari langit?


Suara-suara yang memanggil-manggil namaku, lalu bercerita, tentang dunia, tentang peristiwa, tentang yang akan terjadi, tentang bidadari, tentang warna-warni, tentang perasaan, tentang cara membaca pikiran, tentang cara melihat, tentang segala keindahan, semua tentang dan semua segala. Semuanya diceritakan langit padaku, aku mendengarkannya, aku mempelajarinya, aku mengetahui dan akhirnya aku menjadi seperti murid langit.


Langit mengajarkan aku bagaimana cara melihat bukan dengan mata. Tapi dengan caranya sendiri.


Singkatnya, aku seperti orang yang bisa membaca apa yang akan terjadi kelak. Banya kejadian yang tertebak dengan perkataanku. Seperti pada suatu pagi sebelum berangkat ke sekolah ketika gerimis menjatuhkan air-air laiknya jarum-jarum menghujam pelan ke bumi, angin bertiup dingin di awal aktifitas pagi yang kelam.

“Ibaz.. Ani akan pergi...” Suara langit terdengar di telingaku. Berulang-ulang. Aku masih belum paham. Aku mendongakkan kepala untuk mencermati suara itu. Lagi dan terus menerus terngiang di telingaku sampai akhirnya ibu menarik lenganku dan berkata dengan nada yang amat mengejutkan. Ibu memarahiku berada di halaman rumah bermain dengan rintik gerimis pelan. Air hujan tak baik untuk kesehatan. Kata ibu. Lamat-lamat suara menghilang.

“Ibu... Ani mau pergi kemana?” Tanyaku pada ibu, saat itu perjalanan menuju ke sekolah. Ibu yang setiap hari mengantarkanku ke sekolah.


“Ani? Ada apa dengan Ani? Nanti kita bertemu dengannya di sekolah.” Jawab ibu.


“Tadi Ibaz dengar ada mengatakan bahwa Ani mau pergi bu?”


“Siapa yang mengatakan itu?”


“Ibaz dengar suara dari langit.”


Ibu langsung mengalihkan pembicaraan. Sepertinya tak mau mendengar celotehku yang mungkin ia anggap ngawur. Ibu pernah berkata bahwa suara-suara yang memanggilku dari atas sana adalah hanya merupa imajinasi belaka. Tapi yang terjadi adalah kebenaran yang sangat mengejutkan. Hari itu aku tak menemui Ani di sekolah. Kata Pak guru Ani pindah ke luar kota bersama keluarganya. Kejadian pertama yang membenarkan apa yang langit katakan padaku.


Lalu langit mengatakan aku juara kelas. Dan itu benar lagi. Pada saat kenaikan, waktu itu ibu yang mengambilkan rapor, dengan bangga ia memelukku dan menciumku sembari mengatakan “Ibu bangga padamu, kamu anak pintar.” Aku tersenyum, karena sebelumnya juga aku telah mengatakan pada ibu bahwa aku akan menjadi juara, namun, ibu malah berkata, lihat saja nanti, bila itu benar, akan ada hadiah untukku. Dan akhirnya aku dapat hadiah.

Dan banyak kejadian-kejadian lain yang benar-benar terjadi setelah aku mendengar suara-suara dari langit.


Seiring berjalannya waktu, perputaran bumi yang cepat berlalu, awalnya aku merasa senang bisa mendengarkan apa yang dikatakan langit padaku, semuanya merupa cerita atau berita-berita yang belum kuketahui. Disamping keterbatasan yang kumiliki ini, dengan keadaan tuna netra dan umur yang masih terbilang sangat muda. Informasi yang kudapatkan dari membaca buku-buku tuna netra di sekolah dan mendengar cerita orang-orang tak sebanding dari apa yang kudapati dari cerita-cerita langit. Aku mulai mengetahui kebusukan pejabat-pejabat di negeriku, aku mulai tahu manusia lebih menyukai praktek yang licik dan picik dalam menangani urusan, apalagi yang berbau keuangan, aku mulai mengetahui korupsi telah membudaya di urusan pemerintahan, dan untuk urusan moral, aku juga mulai mengetahui bahwa mereka telah jauh menyimpang dari Agama yang cenderung menjadi panutan. Sering dan secara pelan-pelan diceritakan oleh suara-suara langit. Aku mencium kebusukan di tempat di mana aku tinggal.


Aku tumbuh dan hidup dari pengetahuanku yang diceritakan langit.


Aku mencari tahu apa dan siapa di balik suar-suara itu, sebagai manusia yang hidup dari kekurangan panca indera, tak bisa melihat secara langsung dengan mata kepala sendiri, dengan adanya suara-suara itu, aku seakan bisa benar-benar melihat dan merasa secara nyata objek yang berada di sekitar. Segala pertanyaan terlempar kepada orang-orang didekatku.


“Apakah kalian mendengar suara itu.” Tanyaku pada teman-teman di sekolah. Rata-rata dari mereka semua menjadi bingung ketika aku menjelaskan mengenai apa yang telah terdengar olehku.


“Apakah pak guru mendengarkan suara-suara dari langit tersebut?” Aku bertanya kepada pak guru yang hanya di jawab dengan berbagai pertanyaan kembali untukku.


Semuanya dari mereka tak ada yang mengerti, tak ada yang mengetahui, sebelum Ani pergi, hanya dia satu-satunya orang yang mau mendengarkan dan memberi tanggapan tentang apa yang aku dengar.


“Itu mungkin suara hati kamu sendiri yang terdengar olehmu.” Kata Ani suatu kali saat aku dan dia berbaring di hamparan rerumputan di belakang taman sekolah ketika istirahat sembari menengadahkan kepala ke arah langit. Suara hatiku yang disampaikan melalui langit? Kelak aku membenarkan perkataan Ani ini.

Aku mulai merasa takut ketika suara langit mengatakan bahwa akan ada musibah di kotaku. Pagi itu, ketika baru sampai di halaman sekolah dan hari itu adalah hari pertamaku masuk sekolah menengah pertama. 


“Akan ada sebuah musibah yang menimpa penduduk kota ini, waspadalah. Perhatikanlah! Perhatikanlah! Perhatikanlah!” Suara langit berulang-ulang terdengar. Menggema di telingku.


Musibah! Musibah! Musibah! Musibah apakah? Tanyaku dalam hati. Kepalaku mendongak ke atas, ke arah langit, sepertinya dengan cara pandangku sendiri langit berputar-putar di atasku, pohon-pohon di sekitar ikut berkejar-kejar membentuk lingkaran dengan arah yang sirkular, angin bertiup membentuk debu yang berterbangan, di bawah langit pagi itu, cemas meremas masuk ke perasaanku menjadikan tubuh kaku diiringi rasa khawatir yang memburu. Entah mengapa aku percaya benar-benar akan terjadi sesuatu, seperti hal-hal yang telah terjadi sebelumnya.


Pagi berikutnya suara-suara itu lebih jelas terdengar, sampai pada siang hari, sore hari hingga malam hari dan akhirnya aku bermimpi ketika tidur. Seluruh penduduk kota musnah, hilang, raib entah kemana. Jalan-jalan sepi, lorong-lorong sunyi, rumah-rumah penduduk tertutup rapat, suara-suara anak kecil yang biasa bermain di lapangan bola tak terdengar, taman kota dan alun-alun hanya berteman angin, binatang-binatang tak terlihat, semua hilang, sepi, sunyi, angin perlahan meniupkan daun menyeretnya hingga jauh jatuh ke tebing-tebing tak berpenghuni, perlahan langit menjatuhkan air pelan-pelan, gerimis. Sepertinya waktu berhenti. Aku terbangun. Berlari keluar menuju halaman rumah lalu berteriak tak tentu arah.



***



“Kelak kita semua akan berada di langit, disana segala apapun yang kita butuhkan akan tersedia dengan sendirinya, tetapi dengan satu syarat.” Kata ayah suatu sore di beranda rumah.

“Syarat apa ayah?” Tanyaku.


“Syaratnya, kamu harus berdoa dan berbuat baik setiap hari.” Jawab Ayah.


Aku teringat sepenggalan perbincanganku dengan ayah. Aku merindukannya. Aku juga merindukan ibu. Saat ini mereka mungkin telah berada di langit dan mendapatkan segala apapun yang mereka butuhkan tanpa harus susah payah mencari. Mereka berada di surga, mereka tenang, damai, ditemani para bidadari yang cantik.


Kejadian setelah aku mendengar suara langit yang mengatakan bahwa akan terjadi suatu musibah di kotaku dan mimpi mengenai kota yang sepi dan tak berpenghuni. Keesokan harinya ketika sedang menikmati sarapan pagi bersama ayah dan ibu. Lagi-lagi aku mendengar suara langit yang mengatakan bahwa hari ini adalah hari terjadinya musibah. Pelan-pelan aku mendengar suara itu mulai menyuruhku untuk memberitahukan kepada ayah dan ibu bahkan semua penduduk kota untuk cepat meninggalkan kediaman mencari tempat lain dan berpindah dari kota ini.

Ibu melihat gelagatku yang aneh pagi itu, sejak semalam, setelah mengalami mimpi dan aku berteriak keluar ke halaman rumah, sudah berulangkali aku tak sadarkan diri, terbangun, mengatakan sesuatu yang tak menentu, berteriak lalu kembali tak sadarkan diri. Ibu mengira aku sedang sakit. Dan pagi ini adalah kesekian kalinya aku menjadi ketakutan, perasaanku diliputi rasa cemas hingga berakibat kepada gerak badanku yang menjadi gemetaran, keringat membanjiri seluruh tubuh, itu adalah karena aku mendengar lagi suara-suara langit yang mengatakan perihal musibah.


“Ibu.. Kita harus pergi dari kota ini!!!” Kataku dengan suara parau. “Akan terjadi musibah besar di tempat kita!” Lanjutku lagi.


Ayah dan ibu hanya terdiam, aku merasakan mereka mengkhawatirkan keadaanku yang dianggap sedang mengalami sakit. Tapi aku terus berucap mengenai musibah, meracau tentang kota yang akan hilang.


“Tidak!! Tidak!! Ibaz tidak sakit! Ibu, Ayah, kita harus segera meninggalkan kota ini!!” aku mengguncang-guncang lengan ibu yang langsung memapahku masuk ke dalam kamar. Dalam hatiku berkata bahwa aku harus berontak, dengan sekali gerakan akhirnya aku terlepas dari tangan ibu dan langsung berlari keluar rumah sembari berteriak di jalan-jalan. Ayah dan ibu mengejarku, namun aku terus berlari. Aku tahu, mereka yang ada di luar saling merasa heran dan mencoba menenangkanku, dalam keadaan buta, aku berlari tanpa sedikitpun menabrak sesuatu, aku seperti melihat jalan, aku tahu dimana dan kemana arah berjalan, aku terus berteriak menyuruh penduduk untuk segera meninggalkan kota, di lapangan, di jalan menuju ke pasar, dimanapun aku terus berteriak menguar-uarkan perihal musibah. Aku tak peduli dan terus berteriak.


“Pergilah dari sini!! Pergilah dari kota ini!! Wahai penduduk kota. Disini akan terjadi musibah!” Teriakku sambil berlari. Aku merasakan mereka pasti menganggap bahwa aku telah gila.

Aku terus berlari, terus dan terus sambil tetap berteriak, melewati setiap orang yang berada di sekitar tanpa peduli dengan ayah dan ibu yang sedang mengejar di belakangku, saat itu aku yakin mereka telah jauh tertinggal. Aku terus berlari dan terus dan terus hingga akhirnya tanpa ku sadari tiba-tiba aku seperti berjalan di atas udara, berlari dengan bantuan angin, aku melayang, aku terbang, semakin melangkahkan kaki ke depan, aku semakin tinggi melayang, aku terbang, mengambang. Apakah orang-orang di sekitar melihatku? Aku tak peduli. Sembari berteriak aku merasakan kini telah berada di awang-awang.


Lalu dalam waktu yang bersamaan, angin bertiup kencang, pohon-pohon goyang, debu-debu berterbangan, orang-orang tua mulai panik, anak-anak kecil yang sedari tadi bermain di halaman mulai berlarian masuk ke dalam rumah, binatang-binatang mengeluarkan suara-suaranya yang bermacam dan berlarian tak menentu. Langit mulai mengirimkan awan yang hitam bergumpal dan besar-besar, dalam sekejap hujan turun deras diiringi petir yang menyambar dan menggelegar.


Sadar akan terjadi sesuatu yang akan menimpa. Semua orang mulai berteriak meminta pertolongan, semua orang mulai mengingat dan menyebut nama Tuhan, semua orang seperti tak kuasa mendapati apa yang sedang terjadi. Dari atas sini aku merasakan mereka, aku melihat dengan caraku yang lain. Langit mengangkatku, langit membawaku terbang hingga di atas tak bergabung bersama mereka yang sedang panik ketakutan di bawah sana. Langit sedang memenuhi perkatannya perihal musibah yang akan terjadi. Dari sini, dari atas tempatku berada, aku masih kebingungan mengapa kejadiannya bisa menjadi seperti ini. Mereka di sana menderita sedangkan aku di atas merasakan aman-aman saja. Aku berteriak. Aku ingin turun, aku ingin membantu ayah dan ibu, aku ingin membantu orang-orang di bawah sana yang ketakutan. Dan di atas sini, mengapa hanya aku, langit membawaku. Serupa mukjizat. Aku tak kuasa menahan semua rasa yang sedang berkecamuk. Tuhan maafkanlah aku, maafkanlah mereka semua yang berada di bawah sana. Pelan-pelan aku berucap lirih. Hanya bisa pasrah.

Dan apa yang terjadi di bawah sana benar-benar mengenaskan. Setelah angin kencang dan hujan turun dengan deras, pohon-pohon bertumbangan, bangunan-bangunan roboh, kilatan petir menyambar apapun di sana, dalam sekejap, air membuncah, sungai meluap, air laut meninggi lalu datang dengan ombak yang setinggi pepohonan dan menghempas daratan. Semuanya begitu cepat, luluh lantak oleh musibah, angin yang berputar menghancurkan kotaku yang hanya bisa ku lihat dari atas tanpa bisa melakukan sesuatu.  



***



Di sebuah kota yang telah hancur aku berdiri mematung pada hamparan tanah luas dan sisa-sisa bangunan roboh dan mayat-mayat yang bergelimpangan di sekitar. Ramai orang dari luar daerah mulai berdatangan melihat ke lokasi musibah, mereka berdatangan berombong-rombongan, membawa banyak makanan dan obat-obatan. Relawan-relawan yang mulai sibuk membangun tempat pengungsian untuk penduduk yang selamat.


Aku mulai mendengar mereka menyalahkan cuaca, aku mulai mendengar mereka menyalahkan sistem penanggulangan bencana, aku mendengarkan mereka berbicara cara kerja badan meteorologi dan geofisika, aku mendengar mereka bicara saja, bicara basa-basi, bicara yang sudah tak ada arti lagi. Semuanya sudah terjadi. Dan mereka terus saja bicara dan bicara. Mereka senang mendapat berita.


Di hiruk pikuk suasana yang telah terjadi, di dinginnya angin yang berhembus menyentuh kulit dan suara isak tangis yang belum mereda di sekitarku. Aku mendengar suara langit mengatakan sesuatu. Seperti perkataan yang menyuruhku bercerita, seperti suara yang menyuruhku mengambil sebuah keputusan, seperti suara yang menyuruhku mengambil kesimpulan. Mengapa ini semua bisa terjadi kepadaku dan seluruh penduduk di kotaku. Aku harus bercerita kepada siapa. Mungkin ketika aku ceritakan kepada orang-orang bahwa aku mengetahui perihal musibah yang akan terjadi dan bagaimana aku bisa selamat dari peristiwa ini. Aku yakin mereka tak akan percaya. Mereka akan menganggapku membual belaka. Tapi memang seperti itulah yang aku alami. Mendengar suara dari langit.


***

Kijang juli 2011




Tertarik dengan Iklan di bawah ini? Silahkan klik Gambar untuk info lebih lanjut.
Fifty Great Short StoriesOriginal Short Stories - Volume 01The Complete Short Stories of Ernest Hemingway: The Finca Vigia Edition

Comments

red phoenix said…
ceritanya bagus banget..
Denny Hermawan said…
@red phoenix : Thanks