Lagu Kedamaian



Menatap hamparan pasir putih sepanjang pantai dan biru laut yang menempiaskan cahaya matahari senja yang jingga, ternyata dapat menetralisirkan perasaan gulana. Sepoi angin menerjang dedaunan gugur dan menerbangkan debu-debu pasir yang terangkat ke udara. Sempurna hamparan langit dan arak-arakan awan warna abu-abu ini, langit seperti meretak dengan gurat-gurat merata yang mengintip di balik awan, burung-burung lalu lalang terbang pulang sebelum malam menjelang. Indah bumi setiap hari bila kau menyadarinya.

Sebentar lagi matahari tenggelam, langit jingga akan berubah menjadi langit hitam dan gemintang kelap-kelip di cakrawala sana, serta jajaran kunang-kunang terbang terhampar di atas pohon-pohon rendah di sekitaran tepian pantai ini. Suara yang terdengar hanya deru ombak yang menggulung dan kecipak air yang menghantam karang. Jauh di sana terlihat sebuah kapal nelayan yang tampak terombang-ambing dari pandangan.

Gundah gulana adalah perasaan ingin lari dari kenyataan menuju tempat berirama lagu kedamaian, menurutnya lagu bernada kedamaian adalah lagu yang banyak menggunakan kunci mayor daripada kunci minor yang cenderung sendu, hanya sesekali kres bervariasi dan selalu reffrain tiada henti. Ia ingin seperti lagu kedamaian itu, mungkin seperti lagu imagine nya Jhon Lennon atau heal the world nya Michael Jackson. Tapi semua lagu pasti berakhir dan tak mungkin selalu reffrain. Ia sedang gundah gulana di pantai dan tak ada lagu kedamaian saat ini menemaninya.

“Ponselmu tak aktif, saya ke studiomu tadi, tapi kata pak ujang kamu pergi dari pagi, mungkin memotret. Lalu saya langsung yakin kamu disini.” Kata sang pemilik suara melanjutkan. Ia menunduk menatap pasir putih yang tercampur bebatuan koral dan tetap diam seolah larut dalam dunianya.

“Tempat menyendiri yang sangat indah…” Tiba-tiba satu suara menyapa dari balik punggungnya. Tak perlu menoleh ia mengetahui siapa pemilik suara mesosopran itu. Ia diam, tatapnya makin menjauh ke arah kapal nelayan yang semakin mengecil di garis horizon langit senja.

“Pasir pantai dan angin sepoi serta senja yang jingga. Ombak, batu karang. Dan sebentar lagi kunang-kunang yang berterbangan, lalu bintang jatuh… cahaya bulan… “ Pemilik suara itu merapalkan objek yang selalu ia ceritkan kepadanya.

“Pesawatmu besok jam sepuluh berangkat, setelah itu hanya Tuhan yang mengetahui kapan lagi kita akan bertemu. Sebenarnya ini bukan gagasan yang bagus. Saya ke timur dan kamu kebarat.” Suara itu mendekat, lalu sepasang tangan melingkar di perutnya. Ia memegang jari-jari mungil itu, mengusapnya pada bagian kuku. Pelukan ini, apa mungkin yang terakhir juga? Batinnya dalam hati, deru nafasnya tenang mencoba untuk tak gamang.

Matahari turun perlahan dan hilang tanpa membekas. Lagu kedamaian malam seolah terlantun dari semilir angin tanpa kunci minor, sebersit cahaya melintas di tembok langit malam. ia memejam. Berharap sesuatu pada bintang jatuh yang baru terlihat. Bintang saja dapat jatuh, apalagi manusia yang rapuh dan tak lepas dari keluh. Malam pekat senyap, rembulan menepis gelap, bintang-bintang berjajar terang.

“Nyanyikan aku lagu kedamaian. Selalu”

“Hanya Tuhan yang selalu. Bukan aku.”

Hening merembati kedua insan yang sedang berpelukan itu, angin malam menyisir di antara getir-getir yang di rasakan semakin sesak. Hanya di dalam hati masing-masing mereka menyanyikan lagu kedamaian. Tak ada yang selalu di dunia ini, tak ada yang abadi. Hanya Tuhanlah pemilik itu semua, pemilik selalu dan pemilik abadi.

Banyu merasakan debar di dada Bening yang sedang memeluknya. Bening adalah perempuan yang bersuara mesosopran itu. Teman wanitanya, teman yang bersama-sama turun kejalan menyuarakan hak asasi manusia, bergerak bersama melawan hukum yang tak adil kepada orang-orang tertindas, dalam hal ini Banyu dan Bening sedang berada dalam masalah serius dengan seorang bos sebuah perusahaan produksi electroplating atau pelapisan logam atau yang biasa di kenal dengan sebutan khrom oleh masyarakat awam yang tak bertanggung jawab atas limbah produksi yang tercemar di salah satu desa. Ia menggerakkan massa untuk demonstrasi dan menuntut di hentikannya produksi serta mengganti rugi kepada warga yang telah banyak menjadi korban pencemaran limbah yang mengandung bahan kimia tersebut.

Produksi electroplating ini telah mencemari sumber air yang di jadikan konsumsi warga desa. Dan saat ini memang pabrik sedang dalam proses penyidikan pihak yang berwenang serta melakukan negoisasi terhadap warga dan berjanji membenahi masalah limbah yang tercemar, tetapi di sebalik itu semua masih terdapat masalah pribadi antara bos pemilik perusahaan dengan Banyu dan Bening selaku orang yang menggerakkan dan bersuara dalam mengangkat masalah tersebut, hingga semua warga desa yang pada awalnya tak mengetahui bahwa penyakit yang selama ini mereka derita adalah karena disebabkan oleh limbah yang tercemar dan tak tepat pengelolaannya.

Debar jantung Bening adalah Debar yang mencemaskan keselamatan jiwa Banyu yang kini sedang terancam. Juga jiwanya. Oleh sebab itu mereka berdua memutuskan meninggalkan kota ini secepat mungkin. Kejadian kecelakaan yang terjadi semalam terhadap Panji, teman mereka yang juga ikut andil besar dalam menyuarakan masalah limbah ini, merupakan sebuah keganjilan menurutnya. Kecelakaan yang menyebabkan tewasnya panji itu seperti di rekayasa. Sebuah pertanda kalau itu adalah akibat dari rencana sang Bos pemilik perusahaan yang diam-diam menyimpan dendam. Masih teringat olehnya ketika sang Bos pemilik perusahaan itu mengatakan sesuatu yang bersifat mengancam kepada mereka yang berada di garis depan.

Dan di tepian pantai malam ini adalah benar-benar suasana kegalauan serta gundah gulana bagi Banyu dan Bening. Kecemasan yang menarik tali-tali malam yang mengikat angin dingin, perasaan gamang yang mulai mengembun pada dinding-dinding hati yang hening. Kunang-kunang terbang dengan kelap-kelipnya di ujung sana, suara binatang malam sendu mendayu-dayu bagai lantunan irama kegelapan. Malam yang ghotis dan mencekam untuk saat-saat seperti ini. Kehilangan sahabat seperti Panji merupakan satu pukulan berat bagi mereka. Andai saja waktu bisa berbicara dan mengatakan suatu hal tentang hari esok. Pasti setiap hari akan ada lagu kedamaian yang di nyanyikan.

Keputusan Banyu dan Bening untuk meninggalkan kota yang pertama kali mempertemukan mereka berdua dan Panji memang sudah menjadi sebuah keharusan. Meninggalkan kenangan kebersamaan yang terjalin hampir sekitar tiga tahun adalah sebuah pergerakan dalam kehidupan masing-masing yang mungkin kelak mendatangkan sebuah nasib berbeda dari kehidupan sebelumnya. Bersama-sama mereka mendirikan lembaga swadaya masyarakat yang memperjuangkan hak-hak kaum tertindas dan melewati hari-hari bersama yang tak sebentar, hingga sangat tak jarang hari-hari di lewati dengan berbagai macam kegembiraan maupun kegetiran, dan mungkin sudah saatnya kini waktu berbicara kata perpisahan. Masalah keselamatan menjadi prioritas mereka.

“Kenapa kita tidak pergi ke kota yang sama saja, kita bisa mulai bergerak lagi di sana.” Kata Banyu yang besok akan terbang ke Bintan sedangkan Bening akan pergi ke Bali.

“Saatnya kita mencari hidup masing-masing. Saya mempunyai teman di Bali yang membuka butik. Untuk sementara saya bisa membantunya bekerja disana sebelum dapat kerja lain.” Bening memberi jawaban kepada Banyu. Matanya menatap ke api unggun yang menyala di hadapan mereka berdua. Suasana malam di Tepian pantai yang menyajikan keheningan.

“Terlalu indah bali untuk kamu.”

“Saya pernah dengar di Bintan ada pohon Sakura. Pasti bagus. Nanti kirimkan bunganya untuk saya ya?”

Banyu tersenyum. Gadis cantik di sampingnya ini selalu dapat membuatnya nyaman. Ada benarnya perkataan Bening bahwa sudah saatnya mereka mencari hidup masing-masing. Saatnya untuk berpisah sementara, walau belum tahu kelak akan berjumpa lagi atau tidak. Bintan merupakan tempat yang pas untuk menghindari masalahnya saat ini. Disana ia juga mempunyai kerabat yang senantiasa siap menerimanya kapanpun.

Angin yang bertiup di tepian pantai menjelma alunan lagu kedamaian untuk mereka berdua. Sejenak perasaan cemas bias di sinari cahaya bintang di langit. Besok waktunya berpisah bagi mereka. Demi sebuah keselamatan dan kehidupan baru. Banyu dan Bening berbaring di hamparan pasir, mereka melihat satu bintang yang paling bersinar di langit yang seolah tersenyum seperti senyum Panji sang sahabat sejati. Di alam sana mungkin panji sedang mendengarkan lagu kedamaian.

Kita tak akan pernah mengetahui.

***

Suasana kota yang nyaman setelah Banyu memijakkan kaki di Bintan, sebuah daerah kepulauan yang mulai berkembang pesat pertumbuhan tata kotanya, konon daerah ini juga kaya dengan kebudayaan Melayunya, terlihat dari ornamen-ornamen bangunan dan masih banyaknya sanggar-sanggar seni yang melestarikan kebudayaan tersebut. Semoga saja pemerintahan yang menaunginya tidak melakukan praktek-praktek salah demi kepentingan-kepentingan pribadi atau melindungi para wiraswsata dan usahawan yang melanggar ketentuan yang berlaku, sungguh sangat di sayangkan andai saja itu terjadi dan semoga saja tidak ada kekeliruan di bumi segantang lada ini.

Pohon-pohon Ru yang berjajar di antara tebing-tebing dan bangunan tua masih merimbuni kota dari panasnya sinar matahari, ia berjalan santai melewati pohon-pohon Ru dan pohon-pohon Akasia hingga sampai di sebuah danau yang tak besar, mungkin ini hanya sebuah danau buatan manusia, pikirnya. Ia memandang ke riak-riak air dari tepian danau sembari mengingat perjalanan pelariannya hingga sampai di kota ini.

Beberapa ancaman-ancaman terhadap dirinya semakin di rasakan. Sebagai aktivis ia bisa menang dengan sempurna bersama teman-temannya kala bersama-sama menjalankan suatu pergerakan apapun itu bentuknya, tapi di balik itu semua, adalah resiko yang sangat fatal bagi pribadinya. Terkadang manusia bisa lebih kejam dari binatang buas saat dendam sudah merajai hati. Ia sadar akan resiko itu. Keadilan mungkin hanya untuk orang-orang teratas yang berkuasa dan penindasan akan selalu melahirkan kebencian dan tangis tanpa perlawanan. Namun inilah dunia yang sebenarnya, dimana uang dan kekuasaan sungguh sangat membutakan perasaan.

Di tempat sejauh ini, apakah masih mungkin ia masih terkejar dari dendam pribadi sang Bos pemilik perusahaan Electroplating itu. Ada banyak kemungkinan yang bisa saja terjadi, untuk saat ini, ia hanya sebisa mungkin berusaha menyelamatkan diri. Saat ini Bening sudah berada di Bali dan ia berharap di sana Bening baik-baik saja. Bisa saja sang Bos pemilik perusahaan itu mengirimkan orang-orangnya untuk mencari mereka berdua. Seperti kejadian setahun yang lalu terhadap seorang teman sesama aktivisnya yang di luar daerah, masalah persengketaan tanah warga yang hendak di jadikan lahan perkebunan sawit menyebabkan temannya itu tewas di tangan petugas yang di bayar pihak perusahaan. Padahal masalah sengketa tanah perkebunan sawit tersebut sudah mencapai tahap selesai dan ternyata dendam pribadi memang lahir di belakang hari. Sungguh disayangkan masih saja para pembela kaum tertindas berakhir dengan kematian, dan sangat disayangkan sekali ada seorang petugas yang mau dibayar untuk menghabisi seseorang hanya karena iming-iming uang dan kedudukan di dalam perusahaan. Moral seperti apa itu. Kenyataan terlalu pahit untuknya, andai saja ia di lahirkan sebagai Seniman atau Penyair, mungkin perlawanannya terhadap segala kebusukan Dunia akan disyairkan dan dilagukannya sebagai sebuah lagu perdamaian. Bukan dengan pergerakan turun kejalan.

Senja datang menjelang, warna langit pirang di tepian danau yang ia lihat, sambil mengenang orang-orang tersayangnya nan jauh di mata. Mengenang ayahnya yang selalu bercerita tentang dunia pewayangan saat ia kecil, sangat mengiris hatinya, rindu keluarga membayanginya. Ia hanya berharap di dalam hati, semoga orang-orang terkasihnya dimanapun berada selalu di limpahkan kebahagiaan serta kedamaian.

Ponselnya berdering, sebuah nomor yang tak dikenali terpampang pada layar telepon genggamnya, ia yakin pasti dari bening yang telah mengganti nomor selulernya dengan yang baru, agar jejak tak terlacak.

“Halo..”

“Bening, bagaimana kabarmu?”

“Saya baik-baik saja Banyu. Benar katamu. Bali terlalu indah untukku. Kabarmu bagaimana?”

“Syukurlah kalau begitu, saya juga baik, hanya disini masih merasa asing.”

“Pergilah ke tempat-tempat wisata untuk menenangkan hati, dan sebaiknya nomor ponselmu di ganti saja.”

“Tenanglah, saya masih menunggu beberapa telepon lagi dan kamu jangan khawatir, saya tak akan menerima tawaran walikota koruptor itu. Uang bukan segalanya.”

“Iya, saya percaya kamu. Jaga dirimu baik-baik Banyu, tak ada yang selalu di dunia ini.”

“ Terimakasih Bening. Jaga dirimu sebaik mungkin, tak ada yang selalu di dunia ini, semoga kita cepat bertemu lagi.”

Suara yang menenangkan perasaan satu sama lain, telah terjadi pembicaraan yang singkat antara Banyu dan Bening. Keadaan di tempat masing-masing yang sangat berbeda sekarang dijalani mereka berdua. Sebuah jarak yang jauh antara Banyu dan Bening setelah sekian waktu berada di kota yang sama. Kini, Bintan dan Bali tempat mereka mengasingkan diri. Banyu masih menunggu kontak dari beberapa temannya sebelum benar-benar mengganti nomor telepon. Dan perihal mengenai walikota yang mereka bicarakan hanya guyon percobaan penyuapan yang beberapa waktu lalu terjadi pada Banyu dan Bening. Iming-iming sejumlah uang hingga sebuah jabatan di salah satu instansi pemerintahan bisa mereka dapatkan asal berhenti bersuara tentang kebusukan sang walikota yang berkonspirasi dengan pejabat-pejabat pemikir perut sendiri.

Dan ternyata uang serta kekuasaan memang benar-benar menutupi mata manusia yang terbuka. Tak sedikit teman-temannya yang sedari awal berteriak sana berteriak sini akhirnya menjadi bungkam dan menutup mata hanya karena materi tersebut. Sangat mengecewakan baginya melihat adanya ketidakberdyaan diri terhadap konsistensi awal dan mudah terbungkam oleh kilaunya material. Memang tak ada yang selalu di dunia ini, yang ada hanya sesuatu yang akan berlalu.

Banyu berjalan pelan di sekitar tepian danau. Menikmati udara senja yang ramah di sebuah kota kecil yang indah. Batang-batang pohon Ru dan Akasia yang berdiri kokoh melambangkan bahwa harapan akan masih terus ada selama jiwa tetap meyakini apa yang kita pilih. Saat daun-daun berguguran dan berserak di tanah dan menjadi sampah, yakinlah, bahwa suatu saat kebenaran akan terjamah walau awalnya masih begitu dingin.

Langkahnya terhenti di sebuah pohon besar yang menjulang tinggi. Daunnya kecil-kecil dengan bunga yang berwarna merah jambu. Pohon inilah yang dikatakan Bening saat mereka di tepian pantai. Sakura.

“Nyanyikan aku lagu kedamaian…”

“Tanpa suara tangis orang tertindas…”

“Selalu…”

“Tak ada yang selalu di Dunia ini…”

“…..”

“…..”

“Yang ada hanya yang akan berlalu…”

Hening…

Mungkin suatu hari nanti ada sebuah negeri yang memutar lagu kedamaian, selalu, setiap hari. Burung-burung berkicau damai, angin meniupkan lembar-lembar dedaunan ke tanah tanpa menjadi sampah, pohon-pohon besar tumbuh kokoh melindungi pejalan dari panas yang mengganas, sumber air jernih tanpa pencemaran, tanah subur, bunga-bunga indah bermekaran, udara adalah wewangian kembang sepanjang hari, matahari, bintang, rembulan memancarkan cahaya kedamaian selalu. Selalu dan tanpa harus berlalu.


***

Kijang 2011

Foto by : Agus Pras

Tertarik dengan Iklan di bawah ini? Silahkan klik Gambar untuk info lebih lanjut.
Easy InnocenceThe RealThe Heart Is a Lonely Hunter (Oprah's Book Club)

Comments