Cerpen : E-Love Story "Di bawah langit hujan"



Hujan mungkin bukan sesuatu yang asing lagi bagi bumi. Rinai yang turun secara acak menggempur tanah-tanah kering seolah memanipulasi pandangan menjadi lanskap yang takjub. Dan kabut dan pelangi setelahnya.


Hari ini hujan tak henti dari pagi. Dinginnya merasuk hingga ke rusuk. Pepohonan sepertinya tersenyum dengan cuaca seperti ini. Daun-daunnya melambai-lambai menari seolah sedang mendengarkan lantunan nada-nada langit yang harmonis. When its rain - paramore menemani renungan soreku. Aku menatap jalan becek di depanku. Percikan-percikan air yang jatuh di aspal memberi satu pandangan yang memaksaku menatapnya terus-menerus. Hujan ini seperti teori chaos dengan sistemnya yang tidak teratur dan anarkis. Bila di lakukan pembagian atas bagian-bagiannya yang terkecil maka sistem yang besar dan tidak teratur akan di dapati sebagai pengulangan dari bagian-bagian yang teratur pada hal-hal terkecilnya. Seperti rintik-rintiknya tersebut.

Dan hujan adalah tempat aku kembali dari kenangan kecil. dari wajah angin. dari serpihan rasa takut. mungkin pernah sempat mengecap derita. sebab hujan tak hanya menyisakan kabut. tapi juga kalut.

Aku tersenyum melihat sebuah status di sebuah akun jejaring sosial. Lagi-lagi dia menggunakan bahasanya yang berpuisi untuk status-statusnya tersebut. Seperti hari ini yang menggambarkan hujan. Tapi itu hanya membuatku tersenyum sesaat saja. Aku disini terjebak hujan untuk apa? Aku menunggunya. Di bawah cakrawala abu-abu kehitaman yang merinaikan air-air secara statis, di bawah lengkungan senja yang mengiris sejuk ke permukaan wajah. Aku mengenalnya dari hiruk-pikuk yang melankolis. Dari bait-baitnya yang mengaitkan irama inspiratif. Seperti terbuai ke dalam satu lingkaran masa yang menghidupkan jiwa-jiwa rapuhku kembali berpacu menentang kelemahanku.

Di sebuah kafe kecil inilah aku menunggu. Pada sebuah janji untuk bertemu dengan satu sosok yang aku mengenalnya melalui sebuah situs jejaring sosial. Aku alamatkan tempat pertemuan yang tak jauh jangkau dari masing-masing kediaman kami. Selama ini hubungan komunikasi hanya melalui beberapa situs jejaring sosial yang sama-sama kami ikuti.

Hujan tak juga reda dan aku mulai gelisah menunggu. Tadi malam telah terjadi perjanjian pertemuan ini. ketika saat sama-sama dalam maya dan kami saling menyapa. Aku mengenalnya hanya dari sebuah nama, hanya dari kata per kata yang di tuliskannya melalui tiap-tiap statusnya, melalui catatan-catatannya dan kicauan-kicauannya yang menurutku mempunyai pemaknaan tersendiri.

Setiap manusia pasti melangkah, entah ke arah yang mana. Kini aku melangkah dalam hujan dengan hati yang berkebasahan.

Aku mengerutkan kening membaca update status terbaru darinya. Ingin rasanya aku berkomentar. Sedang dimana dia berada saat ini, tidakkah dia lupa akan janji semalam saat chatting? Aku bukan tak memiliki nomer ponselnya, aku bukan tak bisa menghubunginya, aku hanya ingin janjinya ditepati. Sudah sejak pukul dua siang tadi aku menunggu disini, selepas pulang dari kampus aku melangkah bersama hujan menuju tempat yang di janjikan. Siapa engkau yang sampai membuatku rela menunggu sampai seperti ini? Sudah pukul lima sekarang. Tanda-tanda kehadirannya tak kunjung aku dapatkan. Aku memilih melangkah pergi bersama wajah hujan. Langit hari ini gelap sehitam hatiku. Langit hari ini ungu seperti pilu aku menunggu. Langit hari inilah nama yang aku tunggu-tunggu. Langit.

Aku memanggilny Lang. Seorang pria dari dunia maya. sedingin avatarnya yang tak menggunakan foto aslinya. Hanya sepetak gambar biru langit yang terpampang pada display picturenya. Lang suka berpuisi dan aku mengikuti setiap apa yang dituliskannya, aku mencoba memaknainya dan mencerna apa yang disampaikan olehnya lewat akun-akun jejaring sosialnya dan aku pun selalu mengunjungi websitenya tiap kali ada update postingan terbaru karena aku telah berlangganan melalui email.

Lang tinggal satu kota denganku. Setiap hari aku berkomunikasi dengannya walau sekedar bercerita tentang hari-hariku dan lang sepertinya orang yang sangat menyenangkan. Sampai pada suatu ketika, hubunganku dan lang semakin dekat sehingga apapun yang aku maupun lang lakukan dalam menjalani hari-hari selalu kami ceritakan walau hanya melalui chatting saat kami online. Aku menghubunginya juga melalui telepon dan lang pun selalu memberiku kabar melalui pesan-pesannya. Dan semakin hari aku semakin tergantung pada lang. Lang memberikan aku puisi pada pagi hari, siang, senja, malam dan menjelang tidur. Aku merindukannya setiap hari. Hubunganku dan lang sudah seperti layaknya orang berpacaran meski tak pernah bertemu secara nyata.

Dengan angin yang meniup sekujur tubuhku dan basah yang menerpa seluruh badanku, aku berjalan di bawah langit hujan. Hari ini yang menyelimutiku hanya sebongkah kekecewaan kepada lang. Baiklah. Aku pergi. Engkau tak menepati janjimu lang. Dan sekarang, whats happening? Aku mengetik sebait kata.

Langit. Hujanmu hari ini biru. #nomention.

Aku mematikan ponselku. Baru saja aku mengupdate status di sebuah jejaring sosial dimana aku sering bertemu lang. Dia pasti membacanya dan aku tak peduli. Hari ini aku benar-benar dibuat kecewa olehnya.

“talla...” aku menoleh. Ada yang memanggilku di bawah hujan.




Chicca cafe coffee sore hari. Seorang pelayan mengantarkan segelas cappuccino kepada seorang pemuda yang duduk di sudut meja menghadap ke jalan raya yang lalu lalang kendaraan bermotor. Di luar hujan. Pandangan pemuda itu menyapu seluruh ruangan kafe yang berdekorasi bunga-bunga di setiap bingkai jendelanya. Matanya seperti mencari sesuatu dan dia seperti sedang menunggu seseorang.

Hujan demikian iringi pandanganku, hujan demikian memberi kabut untukku.

Tadi aku melangkah bersama hujan menuju kafe ini untuk menemui seseorang yang selama ini hanya aku temui di dunia maya. Hari ini aku berjanji menemuinya untuk bertatap mata langsung. Aku memanggilnya Talla. Shakuntalla. Seperti nama seorang tokoh dalam dunia mitologi hindu di kitab mahabharata. Di dalam kitab mahabharata tersebut shakuntalla adalah seorang gadis cantik yang di besarkan oleh seorang pertapa bernama bagawan kanwa dan kelak shakuntalla melahirkan seorang anak laki-laki yang di beri nama sarwadamana atau di kenal sebagai bharata yang mewarisi tahta sang ayah yaitu prabu Duswanta. 
Talla yang akan kutemui ini mungkin secantik putri sang bagawan kanwa, terlihat dari picture profilnya yang memasang senyum indah dengan rambut tergerai panjang sebahu. Aku seperti melihatnya duduk di meja seberang yang berdekatan dengan pintu masuk kafe ini. Dialah Talla yang berjanji bertemu denganku. Tak salah lagi. Wajahnya sama dengan picture profilnya.

Jarak duduk antara Aku dan Talla hanya berjarak lima meter dan hanya di halangi sekat yang berjendela kaca ruangan kafe ini. Aku bisa melihatnya langsung dari tempat dudukku yang terlindungi sebuah tiang penyangga dan pot bunga hiasan kafe. Sedangkan Talla jelas tak dapat melihatku.
Aku mengenalnya sebagai sang emosional yang tak reda dari status jejaring sosial yang selalu diupdatenya. Kami sering menyapa setiap hari melalui media online dan Talla selalu memberikan komentar-komentar bila aku menulis puisi atau sajak. Kian lama keakrabanku dan talla di dunia maya kian dekat, setiap hari aku dan Talla selalu berbagi cerita. Aku mengirimkan puisi kepadanya di pagi hari, siang, senja, malam dan menjelang tidurnya. Tak kusadari semakin hari aku sangat benar-benar dan pasti menunggu setiap kabar darinya. Hubunganku dan Talla sudah seperti sepasang kekasih walau hanya di dunia maya. Dan sekarang, Aku dan talla membuat janji untuk bertemu di dunia nyata.

Sudah sejak pukul satu siang aku berada di kafe ini. Aku mendahuli waktu yang ditentukan. Aku melihat Talla memasuki kafe sekitar pukul dua siang, dia mengenakan terusan hitam dan mengambil tempat duduk di dekat pintu masuk. Dia menepati janjinya semalam. Dia benar-benar serius menepati janji yang kami buat. Dia benar-benar menugguku. Dia ingin menemuiku. Dan sekarang tinggal aku yang bertarung melawan dilema besar. Aku ragu. Aku takut Talla kecewa setelah bertemu denganku dan mengetahui siapa Aku sebenarnya. Dia duduk manis disana sambil sesekali menyeruput susu panas yang di pesannya. Lantas apa gerangan yang membuatku tak langsung menghampirinya?

Aku adalah Langitnya di dunia maya. Akulah Langit yang menghujani puisi-puisi untuknya setiap hari. Akulah langit yang memberikan kata-kata semangat kepadanya. Akulah langit yang meniupkan angin cinta kepadanya dan akulah langit yang setiap pagi dia berikan senyuman di halaman rumahnya, karena akulah langit yang mengantarkan koran langganan kerumahnya setiap pagi. Akulah langitnya. sang loper koran.

Hujan ini sangat kabut.

Aku mengetik sebaris kata di ponselku. Tak lama ada beberapa komentar dari beberapa teman. Aku berharap Talla. Aku melihatnya sedang memainkan ponsel dengan wajah seperti lelah menunggu. Rasa takut kembali menghantuiku. Aku bukan tak ingin menemuinya. Aku masih ragu dengan diriku, dengan latar belakangku. Aku takut dia tak menerimaku seperti di dunia maya karena aku adalah orang yang dikenalinya, karena aku adalah seorang loper koran. Dimana keberanianku. Aku bimbang. Sudah pukul lima sore sekarang dan sejak tadi aku hanya terdiam berkecamuk melawan keraguanku untuk menemui Talla. Selama empat jam aku berkabut disini. Sudah tiga jam Talla menunggu kehadiranku dan saat ini kulihat dia berdiri dari bangku, sepertinya Talla akan pergi meninggalkan kafe ini. Aku mulai didera berbagai macam rasa. Talla bangkit. Dia pergi menerobos hujan.

Melihat kepergian Talla, aku terkejut. Ada sesal pada diriku. Aku melihatnya menjauh dan semakin menjauh melangkah meninggalkan kafe di bawah hujan berbasah-basahan.
Di selimuti kabut dan kalut aku bangkit dari kursiku keluar dari kafe dan pergi bersama hujan. Aku menerobos hujan. Aku mengejar Talla. Aku tak mau kehilangannya. Aku harus mengatakan siapa aku sebenarnya. aku tak peduli apa yang akan terjadi setelah Talla mengetahui siapa aku sebenarnya. Aku harus berani. Aku tak peduli hujan. Aku berlari menyusuri jalan. Berbasah-basahan. Di ujung jalan masih ku lihat Talla berjalan pelan. Aku menggapainya. Aku di belakangnya. Aku memanggilnya.

“Talla...” Dia menoleh ke belakang. Ke arahku.




Di pinggir jalan dibawah hujan. Angin berhembus pelan. Dua orang saling berhadapan. Saling menatap.

“kamu...?” Talla menyapa seseorang yang memanggilnya tadi.

“Talla.... Aku....” Suara langit tercekat.

“Ngapain kamu disini...? Ini bukan waktunya mengantar koran kan?” Talla tersenyum. Senyum yang sama setiap pagi ketika Langit mengantar koran.

“Bukan... bukan itu.. tapi...” Suara langit kembali tersendat di tenggorokannya. Dia ingin mengucapkan sesuatu tetapi ragu. Masih ada perasaan takut.

Talla menatap Langit, dia seperti membaca situasi. Seperti ada gelagat yang aneh dengan sang loper korannya ini.

“Katakan.. ada apa...?” Talla bertanya.

Langit menunduk. Perasaannya campur baur di guyur hujan yang kian deras. Ingin rasanya dia memeluk Talla. Rindu di dunia maya yang menjadi semakin nyata. Dia mengepalkan tangannya. Mengumpulkan keberanian.

“Aku Langit...”

Talla terkejut. Matanya menatap lurus ke wajah Langit yang basah oleh air. Perasaanya kini menjadi tak karuan.

“Langit...?” Suara Talla pelan. Langit mengangguk. Hujan semakin deras.

“Tak mungkin....” Talla menggelengkan kepalanya. “Tak mungkin...” Talla membalikan badan, sekarang dia membelakangi langit.

“Talla... maafkan aku sudah membuatmu lama menunggu, sebenarnya aku ada di kafe itu sebelum kamu datang.. tapi aku...” Suara langit berhenti. Dia bingung melanjutkan kata-katanya. Tiba-tiba tanpa di sadarinya Talla berlari meninggalkan dirinya.

“Talla tunggu....” Langit mengejar Talla. Di bawah rintik hujan langkah kedua orang itu berkejar-kejaran. Langit berhasil mengejar Talla dan menghadangnya. Kini mereka kembali bertatapan. Ada perasaan aneh yang berkecamuk diantara mereka berdua.

“Pembohong... Pengecut... jadi selama ini..?” Talla marah.

“Maaf... Aku tak bermaksud...” Langit bicara tertunduk.

Suasana menjadi kaku. Talla masih tak percaya dengan apa yang sedang di alaminya. Ternyata Langit yang selama ini berhubungan dengannya di dunia maya adalah seorang loper koran yang setiap hari ditemuinya di dunia nyata. Talla benar-benar tak menyangka bahwa langitnya adalah sang loper koran.

“Mungkin ini bukan suatu hal yang kamu harap-harapkan Talla... mungkin kamu berharap aku adalah seorang yang tampan dan mapan. Maaf...” Talla hanya diam mendengarkan penjelasan Langit.

“Tapi akulah langitmu, apapun yang ada di benakmu sekarang ini, bahwa aku hanyalah seorang loper koran yang tak sepadan denganmu. Aku sadar...” Langit menatap mata Talla yang bercampur air mata. Talla menangis.

“Kamu menangis? Kamu kecewa? Sekali lagi maaf.”
 
“Lantas, kenapa kamu tak menemuiku tadi...?” Suara talla bergetar. Semilir angin yang bertiup membuat suaranya terdengar samar-samar. Talla mulai merasa badannya menggigil. kedinginan. Emosinya pun sepertinya sudah meredam
.
“Sebenarnya. Smenjak memutuskan akan bertemu denganmu, aku sudah siap dengan apapun yang akan terjadi  Lang, maaf tadi aku berlari meninggalkanmu. Aku hanya terkejut.. ”

“Talla..”

“Lang... Aku kedinginan..”

“Tanganmu dingin..” Langit memegang tangan Talla. Mata mereka saling bertatapan. Pelan -pelan ada senyum merekah dari kedua bibir mereka.

“Aku mau puisi..”

“Aku tak punya...”

“Sekarang...”

“Aku mati inspirasi...”

“Lang....”.

Telunjuk langit menyentuh bibir talla. Hujan semakin menderas.

“Talla. ini nyata. Bukan maya... Terimalah aku”   Lang menatap lekat ke mata Talla. Ada perasaan lega saat ini di hatinya.

“Aku menerimamu Lang. Siapa dan apapun kamu..” Lang tersenyum. Terharu. Talla menerimanya. hatinya bahagia karena Talla tak mempermasalahkan siapa dirinya dan latar belakangnya. Mereka berpelukan dibawah hujan.

Hujan mungkin bukan sesuatu yang asing lagi bagi bumi. Rinai yang turun secara acak menggempur tanah-tanah kering seolah memanipulasi pandangan menjadi lanskap yang takjub. Dan kabut dan pelangi setelahnya.

*Aku mencintaimu tanpa tahu bagaimana atau kapan atau darimana. Aku mencintaimu dengan lugas, tanpa banyak soal atau rasa bangga. Begitulah aku mencintaimu sebab aku tak tahu jalan lain.

***
 
*sajak pablo neruda ciuman hujan : seratus soneta cinta.


**cerpen ini saya ikut sertakan dalam lomba E-Love Story WritingCompetition #happywriting yang diadakan nulisbuku.com februari 2011 lalu, dan telah di bukukan dalam Antologi E-love story terbitan nulisbuku.com buku ke #12


@abee_dee





Comments