What A Beautiful Mind?




Beberapa orang yang suka menulis pasti mencurahkan isi tulisannya berdasarkan pengalaman pribadi, sebenarnya itu sudah menjadi hal yang lumrah bagi penulis tersebut untuk berbagi pengalaman atau cerita-cerita yang telah dialaminya.

Lantas, adakah seorang penulis yang samasekali tak pernah menulis pengalaman tentang dirinya di buku atau pada puisi-puisinya atau tulisan-tulisan lainnya?

Saya sendiri sangsi akan hal itu. Minimal ia pasti pernah mencurahkan isi hatinya pada puisi yang ditulis atau menjadi salah satu karakter di novelnya. Mungkin kalau ada seseorang yang suka menulis tetapi tak pernah menuliskan pengalamannya sendiri  bisa dikatakan sangat sedikit perbandingannya dari yang ada. 


Atau, apakah sang penulis itu memang Pemalu? Ah ini jadi lucu karena saya pernah bertanya kepada seorang teman yang suka menulis, tetapi biasanya ia menulis artikel atau berita-berita yang tengah terjadi lalu merangkumnya. “Sekali-sekali tulis pengalamanmu dong, dijadikan cerpen atau apa gitu kek.?” Lantas ia menjawab. “Ah, tak perlu lah, malu. Pengalaman saya tak ada yang seru.” Dan saya tetap tak mempercayai itu, karena saya pribadi juga menulis beberapa cerita-cerita berdasarkan pengalaman pribadi dan menulis puisi dengan perasaan yang sedang dialami, begitu juga beberapa teman lain yang suka menulis, walaupun ia hanya penulis blog, banyak yang menulis pengalaman-pengalaman pribadinya.

Salah satu teman yang wartawan malah sering curhat ditulisannya kalau tidak lagi nulis berita dengan membikin beberapa puisi dan cerpen-cerpen berdasar pengalaman pribadi. “Aku merasakan benar-benar menulis ya saat mencurahkan hati, bikin puisi, prosa atau cerpen. Menulis berita itu terpaksa.” Katanya.

Pada dasarnya ada banyak macam-macam alasan orang menulis. Para penulis fiksi, misalnya, ia senang dan suka mengarang cerita dan menciptakan tokoh dengan karakter yang lain dari yang lain atau menyamai karakter sang penulis itu sendiri. J.K Rowling mengaku bahwa ia menyelipkan sebagian dirinya pada karakter Hermione. Dewi Lestari mungkin menaruh beberapa karakter dirinya sendiri pada Kugy atau Elektra, bahkan Hilman Hariwijaya dengan Novel fenomenalnya serial Lupus, blak-blakkan memasuki karakternya sendiri pada diri Lupus, dan banyak lagi yang seperti itu baik penulis di dalam ataupun luar negeri.

Karakter khayalan bisa lahir karena daya imajinasi seseorang yang menginginkan hal lain pada dirinya, jika ini di luar bidang kepenulisan, seperti menciptakan karakter tokoh yang akan dijadikan pemeran utama dalam cerita. Tapi bagaimana bila seseorang tersebut bukanlah seorang penulis novel atau cerpen, namun memiliki karakter khayalan/imajinasi yang dijadikannya sebagai teman?

Beberapa waktu lalu saya menonton film berjudul A Beautifu Mind yang dibintangi Russel Crowe. Film ini sudah cukup lama memang, bercerita berdasarkan kisah nyata pengalaman hidup Dr Jhon Nash seorang matematikawan peraih Nobel Ekonomi. Yang membuat saya tertarik ternyata Dr Jhon Nash ialah pengidap Skizopernia, yaitu suatu gangguan jiwa di mana tidak bisa membedakan halusinasi dan kenyataan. Film jenis seperti ini juga bisa dilihat pada film Shooter Island yang dibintangi Leonardo Di Caprio dan Secret Window yang dibintangi Jhonny Depp. Di film-film tersebut masing-masing memiliki persamaan, yaitu pemeran utama mengidap Skizofernia. Seperti yang kita ketahui, pengidap Skizofernia biasanya hidup dari pikirannya sendiri, umumnya mereka memiliki teman imajinasi atau tokoh khayalan yang dibangun sendiri dari pikirannya yang sudah jelas itu tak pernah ada bila dilihat oleh orang-orang lain. Bahasa kasarnya Skizofernia mungkin banyak yang menyebutnya Gila. Ya, para pengidap Skizofernia memang bisa dikatakan Gila karena jiwa dan pikirannya terganggu.

Tentang tokoh khayalan atau tokoh imajinasi inilah yang mungkin bisa dijadikan referensi untuk menulis sebuah cepen atau novel. Menulis fiksi memang menuntut khayalan tinggi karena di sana kita harus benar-benar menciptakan sebuah dunia imajinasi baru beserta tokoh-tokoh yang terdapat di dalamnya secara detail, sehingga pembaca mendapatkan greget dari karakter tokoh tersebut dan jatuh cinta, dan sudah pasti tanpa harus mengidap Skizofernia terlebih dahulu untuk membangun itu semua, atau malah tanpa kita sadari, para penulis fiksi terkenal banyak yang mengidap Skizofernia? Hehe just write. Ini jadi motivasi bagi saya sendiri mestinya yang memang suka menulis cerita, dan saya masih sadar kok mana yang kenyataan dan khayalan. :)


***

Comments