Agustus



Satu bulan berlalu tanpa cerita yang menghiasi langit-langit hati, seolah semua rasa telah habis terkikis oleh hujaman air hujan dari kelopak mata langit, langit yang tinggi saat kepala menengadah dengan hiasana kemilau silaunya cahaya dari Matahari. Kataku tentang sebuah perjalanan hidup, katamu mengenai pencarian Hati, dan kata mereka yang tak pernah ada yang mau mendengarkan lagi, termasuk Aku dan Engkau. Saya dan Kamu. Kita. Yang telah menjadi masing-masing setiapnya. Yang pernah dan sudah. Yang telah dan kalah. Yang masih menyalahkan sebaris kata “Apabila” “Seandainya” “Jika” serta kalimat-kalimat lain yang selalu memberikan setitik sebuah harapan dan kemungkinan.

Kekosongan memang selalu memberikan perlawanan. Memaki diri sendiri. Mencerca suatu keadaan. Bukankah itu sebuah simbol ketololan? Yang dengan sendirinya terpelihara dan membesar hingga menutupi kedewasaan cara berpikir. Tapi itulah Aku. Saya. Ego. Apatis. Yang menciptakanmu dan membuatmu ada. Yang pasti selalu dan mau mendengarkan hujat bersebab dan tanpa sebabku, curahan hati yang melarung membentuk kesedihan bahkan berbongkah-bongkah tawa tercipta untuk mereka dan pastinya Aku.

Satu bulan berlalu, semestinya telah berwarna-warni dinding Hati. Tapi kemana engkau? Malam tadi, pagi tadi, senja tadi, hari ini. Bulan ini bahkan sekelabat bayanganmu tak tampak.

Aku mengetahui segala tentang dirimu, malah setiap lekuk dari bagian seluruh tubuh itu, sangat presisi. Sifat itu dan suara mendayu yang menyanyikan lagi kedamaian setiap hari. Belum lagi saat malam gelap dan senyap yang senantiasa berada disamping menemani saat beribu-ribu bahkan berjuta-juta huruf terangkai menjadi sajak atau cerita.

Aku juga mengetahui bahwa sebagian dari mereka ingin membunuhmu. Tidak semua, hanya sebagian mereka yang mungkin membencimu karena kecewa atau luka yang tak sengaja tergores dan mungkin membuat perih pada bagian hati yang terdalam. Salahmu berarti salahku juga. Aku melindungimu dari kejaran mereka bahkan apapun.

Di Tepian angin masih berhembus, namun tak ada lagi logika, pemikiran imajinatif yang berkenan kini tak lagi mengisi seluruh rongga dan sendi-sendi Hati. Sebentuk apa sebenarnya Engkau? Semanusia apa sepertinya Engkau? Saat ini seperti ada dan tiada wujudmu. Tak seperti pada awal mulanya. Atau Aku yang masih terkukung oleh fantasi?

Aku mengenalmu jauh. Jauh hingga tak ada yang membatasi.

Tiba-tiba Engkau datang dengan secangkir kopi hitam favorite yang biasa Aku minum. Alunan lembut suaramu senandungkan irama entah apa, tak ku ketahui namun nada itu serasa tak asing, seperti sebuah lagu klasik tempo dulu yang sering di putar radio-radio lokal.

“Kopi dulu baru lanjutkan tulisannya” Suara lembut itu. Siapa yang menciptakannya? Suaramu yang menjadi ciri khas. Aku merekamnya dalam-dalam ke dalam ingatan.

“Thanks..” Jawabku sambil mengangkat gelas kopi yang masih tampak kepulan asapnya. Inikan zat yang membuatku berteman dengan insomnia selain nikotin yang memang telah akrab sejak zaman SMP dahulu. Caffein memang stimulan yang tak terganti.

Setelah itu tak banyak Engkau bicara, begitupun aku yang larut ke dalam rentetan huruf-huruf dan sesekali mengerenyitkan kening, menghembuskan asap, kembali menyesap kopi buatanmu. Sampai akhirnya kita berdiskusi perihal apa yang ku tuliskan, bagaimana endingnya? Gantung? Kejutan? Atau sedih, senang dan ah.. lagi-lagi kelam.

“Seringnya berakhir seperti ini..?” Katamu ketika selesai membaca cerita yang baru kutulis.

Aku diam hanya menerawang, seperti kembali pada masa-masa entah apa. Absurd. Kata-katamu barusan menohok sebenarnya. Siapa yang tak ingin akhir bahagia?

Itu pertama kali Engkau hadir. Seingatku. Setelah itu, tiap malam kala Aku bertemankan sepi dan baris-baris kata melengser satu-satu di hamparan kertas putih. Engkau selalu menemani.

Agustus bulan ke delapan. Semua orang tahu itu. Dinding-dinding Hati masih menyerukan keganjilan pada bulan ini. Terkhusus untukku yang lama-lama merasa kehilangan. Kehilangan satu sosok Engkau.

Tanyaku bertubi-tubi di suatu pagi saat terbangun. Setelah hampir sepekan rasa kehilangan datang menerjang. Apakah mereka membunuhmu? Apakah mereka yang mencuri Engkau dariku? Apakah mereka yang menyimpan segala bentuk wujudmu? Engkau? Kamu? Engkau? Kamu? Di mana mereka menyembunyikan Engkau dariku? Kamu dari saya?

Di bulan Agustus ini Aku kehilangan Engkau dan Kamu. Sang Inspirasi.


Photo : Shakuntalla


History and Practice of the Art of PhotographyThe Art of Photography: An Approach to Personal ExpressionScott Kelby's Digital Photography Books, Volumes 1, 2, and 3, ePub

Comments